Gelombang Baru di Panggung Politik Nasional
Tahun 2025 menandai babak baru dalam politik Indonesia.
Isu lingkungan dan perubahan iklim kini bukan lagi sekadar wacana aktivis, tetapi agenda politik utama di parlemen, kabinet, dan pemilihan daerah.
Istilah politik hijau kini menjadi magnet baru bagi generasi muda dan pemilih progresif.
Setelah gelombang panas ekstrem dan krisis air di beberapa provinsi, kesadaran publik meningkat tajam terhadap pentingnya kebijakan lingkungan.
Pemerintah pusat memperkenalkan Rencana Energi Bersih Nasional 2025–2040, sementara partai-partai politik mulai berlomba membentuk “sayap hijau” untuk menarik simpati pemilih milenial.
Indonesia kini berada di persimpangan penting — antara mengejar pertumbuhan ekonomi cepat atau menjaga bumi tetap hidup untuk generasi berikutnya.
Latar Belakang: Dari Krisis Iklim ke Gerakan Politik
Dalam dua dekade terakhir, Indonesia menjadi salah satu negara paling terdampak perubahan iklim di Asia Tenggara.
Kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera, banjir di Jawa, hingga penurunan permukaan tanah di Jakarta menjadi bukti nyata dampak global warming.
Namun di tengah tantangan itu, muncul kesadaran politik baru.
Gerakan lingkungan seperti Extinction Rebellion Indonesia, Gerakan Hutan Lestari, dan Green Youth Movement berhasil menekan DPR untuk mempercepat legislasi energi terbarukan.
Sejak 2023, istilah “politik hijau” semakin populer — bukan hanya di kampanye partai, tetapi juga di ruang publik, media sosial, dan debat nasional.
Anak muda kini tidak hanya bicara hak pilih, tapi juga hak atas udara bersih dan masa depan bumi.
Agenda Transisi Energi Nasional
Salah satu pilar utama Politik Hijau Indonesia 2025 adalah transisi energi.
Pemerintah menargetkan 34% energi nasional berasal dari sumber terbarukan pada tahun ini, dengan fokus pada:
-
Pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Nusa Tenggara.
-
PLTA mikro di pedalaman Kalimantan dan Papua.
-
Bioenergi dari limbah sawit dan tebu.
-
Program Blue Hydrogen di Sulawesi dan Jawa Timur.
Proyek besar seperti Green Capital City (IKN Hijau) di Kalimantan Timur menjadi simbol transformasi ini.
Semua infrastruktur dibangun berbasis konsep nol emisi dan sirkularitas energi.
Namun di sisi lain, tantangan muncul: investasi masih terpusat di kota besar, sementara daerah terpencil tertinggal dalam akses energi bersih.
Peran Politik dan Ekonomi Hijau
Politik hijau tidak bisa berjalan tanpa dukungan ekonomi hijau.
Pemerintah bersama Bank Dunia dan Asian Development Bank meluncurkan Indonesia Green Investment Platform (IGIP) senilai USD 20 miliar untuk mendanai proyek ramah lingkungan.
Dana ini diarahkan ke:
-
Pertanian berkelanjutan.
-
Infrastruktur hijau (jalan, jembatan, dan pelabuhan rendah karbon).
-
Industri daur ulang plastik dan baterai EV.
Partai-partai besar seperti PDI, Golkar, dan PKB juga menempatkan isu energi bersih di manifesto politiknya.
Sementara partai-partai baru seperti Hijau Nusantara dan Partai Alam Raya muncul dengan fokus tunggal pada lingkungan dan sosial-ekologi.
Keseimbangan antara politik dan ekologi kini menjadi kebutuhan, bukan pilihan.
Pendidikan dan Kesadaran Politik Hijau
Di tingkat pendidikan, gerakan politik hijau mulai masuk ke kampus dan sekolah menengah.
Program Green Citizenship Curriculum diterapkan di beberapa universitas besar, mengajarkan mahasiswa tentang kebijakan publik dan keberlanjutan lingkungan.
Selain itu, Youth Parliament for Climate menjadi wadah bagi anak muda untuk berpartisipasi dalam rancangan kebijakan energi.
Gerakan ini berhasil melahirkan banyak pemimpin muda yang vokal, idealis, dan paham teknologi.
Salah satu contohnya adalah Rania Fariza, aktivis 24 tahun yang kini duduk di DPRD Jakarta dan memperjuangkan Jakarta Green Mobility Bill — rancangan peraturan daerah untuk mendorong penggunaan kendaraan listrik dan transportasi umum berbasis energi bersih.
Isu Strategis: Ekonomi vs. Lingkungan
Masalah utama dalam implementasi politik hijau di Indonesia adalah pertentangan antara kepentingan ekonomi jangka pendek dan keberlanjutan jangka panjang.
Sektor tambang, misalnya, masih menjadi tulang punggung pendapatan negara.
Namun eksploitasi berlebihan merusak hutan dan sumber air.
Di sisi lain, energi terbarukan membutuhkan investasi besar dan waktu lama untuk balik modal.
Pemerintah kini mencoba mencari jalan tengah melalui transisi adil (just transition) — memastikan pekerja tambang dan petani tidak kehilangan mata pencaharian ketika ekonomi beralih ke sistem hijau.
Pendekatan ini menempatkan manusia di pusat perubahan, bukan hanya angka statistik.
Teknologi Hijau dan Inovasi Digital
Teknologi menjadi sekutu baru politik hijau.
Startup Indonesia mulai berlomba menciptakan solusi cerdas untuk keberlanjutan.
Beberapa contoh:
-
CarbonIQ: aplikasi yang menghitung jejak karbon individu dan memberi insentif jika pengguna menurunkannya.
-
Energi Kita: platform crowdfunding untuk proyek solar panel komunitas.
-
AquaTrace: sistem AI untuk mendeteksi kebocoran air dan efisiensi distribusi.
Teknologi juga membantu transparansi: data emisi, konsumsi energi, dan kualitas udara kini dapat diakses publik melalui portal Open Green Data Indonesia.
Hal ini memperkuat kepercayaan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sipil.
Politik Hijau di Kancah Global
Indonesia tidak berdiri sendiri.
Dalam forum G20 Green Forum 2025, Indonesia menegaskan komitmen net zero emission sebelum 2060.
Langkah ini mendapat apresiasi global, terutama karena Indonesia adalah negara dengan hutan tropis terbesar ketiga di dunia.
Namun, dunia juga menuntut konsistensi.
Masih ada kritik terhadap proyek IKN yang menebang ribuan hektare hutan, serta ekspor batu bara yang terus berjalan.
Dunia internasional kini memandang Indonesia sebagai “laboratorium transisi” — negara yang mencoba menyeimbangkan kebutuhan pembangunan dan kelestarian alam.
Keterlibatan Masyarakat Sipil
Kekuatan politik hijau tidak hanya datang dari parlemen, tetapi juga dari masyarakat sipil.
Organisasi lingkungan, pesantren hijau, dan komunitas adat memainkan peran penting dalam pengawasan kebijakan.
Contohnya, Forum Petani Organik Indonesia mendorong konversi 1 juta hektare sawah menjadi pertanian organik rendah emisi.
Sementara Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menuntut hak pengelolaan hutan adat agar tidak diserahkan ke korporasi besar.
Partisipasi masyarakat ini menunjukkan bahwa politik hijau bukan milik elit, tapi milik rakyat.
Generasi Z dan Politik Hijau
Generasi muda menjadi ujung tombak perubahan politik ini.
Mereka tumbuh di era media sosial, di mana isu lingkungan mudah viral dan menciptakan tekanan publik.
Gerakan digital seperti #VoteForEarth dan #HijauAdalahPilihan menjadi kampanye daring paling masif menjelang pemilu 2025.
Anak muda tidak lagi apatis — mereka mengawal isu, menagih janji, dan membuat konten edukatif tentang kebijakan publik.
Mereka tidak hanya ingin pemimpin yang karismatik, tapi yang berani hijau.
Tantangan Implementasi
Walau gagasan politik hijau semakin kuat, implementasinya masih menghadapi banyak rintangan:
-
Resistensi dari industri konvensional.
-
Minimnya infrastruktur energi bersih di daerah.
-
Regulasi tumpang tindih antar lembaga.
-
Rendahnya literasi energi masyarakat.
Namun pemerintah mulai menanggapi dengan pembentukan Dewan Transisi Energi Nasional yang bertugas memantau, mengevaluasi, dan mempercepat program hijau lintas sektor.
Masa Depan Politik Hijau Indonesia
Jika politik hijau terus tumbuh, Indonesia berpotensi menjadi pemimpin regional dalam ekonomi rendah karbon.
Dengan kekayaan alam dan inovasi generasi muda, Indonesia bisa menjadi contoh negara berkembang yang sukses menggabungkan demokrasi dan keberlanjutan.
Kuncinya adalah kolaborasi — antara pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil.
Karena politik hijau sejatinya bukan ideologi baru, melainkan cara berpikir baru: bahwa masa depan bumi adalah bagian dari masa depan bangsa.
Penutup: Dari Isu Pinggiran ke Arus Utama
Politik Hijau Indonesia 2025 membuktikan bahwa isu lingkungan kini bukan lagi pinggiran.
Ia sudah masuk ke jantung kekuasaan, memengaruhi arah ekonomi, budaya, dan gaya hidup nasional.
Ketika partai-partai mulai bicara soal hutan dan energi terbarukan di panggung kampanye, artinya perubahan sedang benar-benar terjadi.
Dan jika perubahan ini terus dijaga, Indonesia tidak hanya bisa menjadi kekuatan politik, tapi juga penjaga kehidupan dunia.
Karena politik sejati bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang menjaga bumi untuk tetap layak dihuni.
Referensi: