Burden Sharing yang Tepat, Kunci Pemulihan Ekonomi Indonesia
wartalokal.com – Istilah burden sharing yang terdengar teknis ternyata yang tepat bisa jadi penentu percepatan pemulihan ekonomi. Skema gotong‑royong antara Bank Indonesia (BI) dan pemerintah ini menjadi tumpuan untuk bisa menyelamatkan ekonomi dari krisis, tanpa mengesampingkan kestabilan moneter. Yuk kita ulas lebih dalam—apa itu, manfaatnya untuk pemulihan, risiko yang perlu diantisipasi, dan mengapa penerapannya kali ini disebut lebih terukur.
Apa Itu Burden Sharing & Konteks Historisnya
Secara teknis, burden sharing adalah mekanisme pembagian beban pembiayaan antara BI dan pemerintah, terutama saat krisis besar seperti Covid‑19 dan kini untuk program pemulihan. BI membeli surat berharga negara (SBN), dan beban bunga dibagi sesuai ketentuan—cont’d skema public goods vs non-public goods. Sebelumnya memang skema ini dijalankan sejak 2020, kini dihidupkan lagi untuk mendukung program Asta Cita.
Manfaat nyata terlihat: pemerintah bisa menghemat hingga Rp 30 triliun per tahun dari beban bunga—uang ini bisa dialihkan ke perumahan rakyat atau koperasi desa. Namun skema ini bukan tanpa risiko—moral hazard, utang moneter, dan potensi melemahnya independensi BI jadi tantangan berat.
Manfaat Real untuk Pemulihan Ekonomi
-
Tekanan Bunga Turun
Skema ini efektif memangkas biaya bunga utang pemerintah, memungkinkan biaya anggaran difokuskan pada sektor produktif seperti perumahan dan UMKM. -
Stimulasi Ekonomi Kerakyatan
Sejauh ini, sebagian dana dari burden sharing digunakan untuk program ‘ekonomi kerakyatan’—mulai dari rumah rakyat, hingga koperasi desa, meningkatkan akses finansial dan menciptakan multiplier effect ekonomi. -
Tekanan Fiskal Jadi Terkendali
Pemerintah bisa menekan defisit APBN sementara memberi ruang fiskal untuk investasi jangka panjang, berdampingan dengan BI yang menjaga stabilitas moneter.
Risiko yang Perlu Diwaspadai
-
Penurunan Independensi BI
Saat BI terus membeli SBN, independensinya bisa tergerus—apabila skala burden sharing diperluas, maka langkah ini bisa jadi preseden buruk buat kebijakan moneter masa depan. -
Risiko Inflasi & Pelemahan Rupiah
Monetisasi utang bisa menciptakan pasokan uang berlebih—yang, tanpa manajemen hati-hati, berpotensi memicu inflasi tinggi dan melemahnya nilai tukar–terutama jika tidak diimbangi pengendalian daya beli dan stabilitas harga. -
Moral Hazard & Credit Risk
Jika pemerintah terlalu mengandalkan BI sebagai ‘juru selamat’ fiskal, maka akuntabilitas berkurang dan kebijakan bisa tidak prudent. Ini bahkan bisa menurunkan rating kredit institusi dan mengikis kepercayaan investor.
Skema Terbaru & Wajah Baru Recovery 2025
Skema burden sharing terbaru sesuai kesepakatan BI dan Pemerintah telah diterapkan lagi per September 2025. Bunga SBN akan dibagi antara BI dan pemerintah setelah dikurangi pendapatan bunga pemerintah dari penempatan dana di perbankan.
Pendanaan ini akan dialokasikan ke program ekonomi strategis—seperti Asta Cita, Koperasi Desa Merah Putih, dan perumahan rakyat—dengan bunga efektif bisa serendah 2–6%. Skema ini memungkinkan BI tetap independen di moneter—karena bukan beli langsung di pasar perdana.
Bank Indonesia juga tetap bekerja sama erat untuk menjaga stabilitas sistem keuangan—dan bahkan siap turunkan suku bunga lebih lanjut di akhir 2025 jika kondisi memungkinkan.
Penutup – Burden Sharing Strategis, Namun Butuh Keseimbangan
Skema *burden sharing yang tepat dapat menjadi katalis penting dalam memulihkan ekonomi pasca-pandemi dan mendukung program pro-rakyat. Tapi perlu selalu diingat: pemulihan tidak bisa mengabaikan komitmen pada kebijakan moneter sehat, akuntabilitas publik, dan kredibilitas institusi.
Agar efektif, burden sharing harus dibundel dengan exit strategy: mulai kurangi rasio BI di SBN, jaga kenaikan inflasi terkendali, dan pulihkan ruang fiskal untuk APBN jangka panjang. Jika berhasil, skema ini justru bisa memperkuat kepercayaan publik pada kebijakan ekonomi negara.