Latar Belakang: Tawaran Fantastis yang Ditolak
wartalokal.com – Awal Agustus 2025, Gubernur Bali I Wayan Koster mengungkap momen penting saat dirinya ditawari Rp100 triliun agar mengizinkan pembangunan kasino di Pulau Dewata. Tawaran fantastis seperti ini jelas menggoda, apalagi jumlahnya setara miliaran dolar. Namun, Koster bahkan tak menyebut siapa pihak yang menawarkan—fokusnya justru ke nilai-nilai yang dipertaruhkan.
Pada pidato di Gedung Ksirarnawa, Denpasar, Koster menegaskan penolakan tegasnya. Ia merasa, “sekali kita salah langkah, kita bisa kehilangan lebih dari Rp100 triliun”—dalam jangka panjang, pariwisata berbasis budaya lah yang jadi pondasi kekuatan Bali.
Kalimat tegas dari Koster: “Bali budaya cuma satu ada di dunia. Jadi kalau itu enggak ada saingannya soal budaya.” Penolakannya bukan soal uang instan, tapi mempertahankan jati diri dan masa depan pulau.
Pariwisata Budaya: Tulang Punggung yang Tidak Boleh Hilang
Menurut Koster, pariwisata Bali berbasis budaya—seni, tradisi, kearifan lokal—adalah keunggulan tak tertandingi. Kasino dan hiburan malam bukan cuma melenceng dari budaya, namun juga merusak citra spiritual Bali sebagai destinasi global.
Semangat ini bukan sekadar retorika; di Rakerda Asita awal tahun 2025, Koster memperingatkan bahwa prostitusi, judi, kasino adalah “bukan produk pariwisata Bali” dan bisa menghancurkan sektor wisata jika diterapkan.
Tak cuma omongan, PHRI Bali juga mendukung. Ketua PHRI menegaskan pembangunan pariwisata harus sejalan kultur lokal—pembangunan kasino dianggap keluar dari jalur identitas Bali.
Skenario Alternatif: Iming-Iming Investasi vs Risiko Sosial
Tawaran pembangunan kasino sering dikaitkan dengan potensi massive income—PAD tinggi, dana fasilitas umum, dll. Namun Koster menyoroti risiko reputasi dan degradasi budaya yang lebih besar dari keuntungan instan.
Dalam pertemuan dengan Komisi VII DPR RI, Gubernur mengakui memang pada hitungan jangka pendek kasino bisa mendongkrak kawasan—tetapi citra Bali yang khas bisa ternoda. Kalaupun pendapatan naik, takutnya Bali kehilangan jutaan wisatawan yang cinta budaya—bukan hiburan modern.
Sekadar data tambahan, HIPMI Bali pernah mengusulkan kasino untuk bantu pendanaan pengelolaan sampah dan infrastruktur. Mereka menghitung PAD bisa naik signifikan. Namun, netizen dan praktisi menanggapinya skeptis—di Reddit, misalnya, ada komentar kritik terhadap risiko moral dan sosial.
“Tourist + Casino + Rampant drug abuse = What could go wrong?”
– Komentar warganet di Reddit
Etika dan Undang-Undang: Landasan Legal yang Tertata
Selain nilai budaya, Koster juga menyampaikan bahwa pembangunan kasino bertentangan dengan UU yang melarang praktik perjudian. Kasino bukan hanya meleset dari spirit lokal, tapi juga legalitas nasional.
Kalau ditelusuri, UU perjudian memang ketat—menandakan bahwa kasino tidak hanya tidak etis tetapi juga tidak sah secara hukum di Bali maupun Indonesia secara umum.
Dampak Lingkungan dan Sosial: Lebih dari Sekadar Hiburan
Selain risiko budaya, pariwisata berbasis hiburan semacam kasino juga rentan terhadap eksploitasi, kemacetan, hingga krisis seperti sampah dan air bersih. Padahal, Bali saat ini sudah cukup menantang menghadapi 4,3 juta wisatawan hingga Agustus 2025—diperkirakan meningkat hingga 7,2 juta akhir tahun. Menghadirkan kasino bisa jadi memperbesar tekanan lingkungan dan sosial.
Artinya, keputusan Koster juga perlindungan terhadap ekosistem dan kualitas hidup masyarakat Bali—bukan hanya jaga budaya, tapi juga sustainabilitas desa, alam, dan lingkungan.
Refleksi & Harapan Ke Depan
Keputusan Gubernur Koster adalah cerminan bahwa uang gede bukan faktor utama pembangunan. Di saat negara-negara lain mulai gandakan wisata hiburan, Bali tetap di jalur budaya. Langkah ini menginspirasi bahwa pariwisata berkualitas itu tetap harus diberdayakan oleh identitas lokal, bukan lenyap digilas tren global.
Ke depan, semoga kebijakan Bali tetap kukuh pada wajah budaya. Model seperti ini bisa jadi panutan destinasi lain: bahwa kemajuan tidak mesti merusak budaya—malah kebutuhan kita adalah memperkuat akar lokal untuk berdaya saing global.
Penutup Ringkas
Gubernur Koster tolak kasino Bali bukan karena takut investasi, tapi karena sadar siapa Bali sebenarnya: pulau budaya tersendiri di dunia. Rp100 triliun itu menggoda, tapi keutuhan budaya Bali adalah aset tak ternilai—punihnya itu, semua bisa hilang.