Eksekusi Silfester Matutina Mandek 6 Tahun, Kejari Jaksel Dilaporkan ke Kejagung
Eksekusi Mandek 6 Tahun — Fakta di Balik Penundaan
wartalokal.com – Putusan inkrah Mahkamah Agung (MA) pada 2019 menjatuhkan hukuman 1,5 tahun penjara kepada Silfester Matutina atas kasus fitnah terhadap Jusuf Kalla. Namun hingga sekarang, hukuman tersebut belum dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan—menyisakan tanya besar soal penegakan hukum.
Mantan Kajari Jaksel, kini Kapuspenkum Kejagung, Anang Supriatna, menyampaikan alasan eksekusi tertunda: Silfester sempat hilang saat hendak dieksekusi, lalu pandemi COVID-19 membuat kegiatan pemindahan tahanan sangat terbatas—bahkan tahanan yang sudah ada pun banyak keluar.
Meski demikian, Kejagung menegaskan bahwa surat perintah eksekusi sudah dikeluarkan dan pihak Kejari Jaksel tinggal melaksanakannya. Proses itu dilakukan meski Silfester telah mengajukan Peninjauan Kembali (PK), karena PK tidak menunda eksekusi.
Tuntutan Hukum Lanjutan—ARRUKI Gugat Praperadilan
Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI) melayangkan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan pada 8 Agustus 2025. Gugatan diajukan atas dasar bahwa penghentian eksekusi terhadap vonis inkrah adalah pelanggaran terhadap asas peradilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.
Menurut ARRUKI, penundaan ini sama artinya dengan penghentian penuntutan yang tidak sah—karena Kejari secara faktual tidak menjalankan kewenangan atas eksekusi vonis. Mereka meminta agar hakim menyatakan tindakan tersebut tidak sah dan memerintahkan eksekusi segera.
Masalah ini ditambah Komisi Kejaksaan (Komjak), yang telah mendatangi Kejari Jaksel untuk meminta penjelasan. Ketua Komjak menyatakan bahwa alasan penundaan tak bisa dibeberkan ke publik karena “ranah strategi”, namun menegaskan eksekutor telah ditunjuk dan proses eksekusi sedang dalam progres.
Pandangan Kejagung — Penundaan Bukan Akibat Intervensi Politik
Kejagung secara tegas membantah adanya tekanan politik dalam kasus ini. Menurut Anang Supriatna, penundaan murni karena kendala prosedural seperti hilangnya Silfester dan dampak pandemi. Disponisi eksekusi sudah clear dan tidak terhalang isu politik.
Kapuspenkum juga memastikan bahwa Kejari Jaksel telah menerima pemberitahuan PK dan dijadwalkan sidang PK pada 20 Agustus 2025. Ini menunjukkan bahwa proses hukum berjalan meski eksekusi belum terlaksana.
Kejagung juga menyoroti pentingnya memahami bahwa PK bukan alasan membatalkan eksekusi. Keberadaan surat perintah eksekusi adalah alat hukum yang sah untuk memastikan vonis dijalankan.
Penutup
Kasus eksekusi Silfester Matutina mandek 6 tahun jadi sorotan serius soal penegakan hukum di Indonesia. Penundaan demi penundaan—dengan alasan seperti hilang atau pandemi—menyisakan keraguan publik. Kini, dengan tindakan praperadilan dari ARRUKI dan intervensi Komjak, titik terang mulai terlihat: eksekusi harus segera dijalankan.
Semoga momentum ini jadi sinyal bahwa tidak ada ruang untuk “zona abu-abu” dalam penegakan hukum. Masyarakat menunggu keadilan yang nyata—namun tak sekadar wacana, melainkan implementasi yang tegas, transparan, dan adil.