Sejarah Terpendek — Kapan Presiden RI Pernah Bubarkan DPR?

wartalokal.com – Sejarah mencatat bahwa Presiden Soekarno adalah satu-satunya presiden dengan kekuasaan nyata membubarkan DPR RI. Keputusan ini terjadi pada 5 Maret 1960, dengan alasan DPR menolak RAPBN yang diajukan pemerintah—hanya menyetujui sebagian anggaran saja.

Namun, akar peristiwa ini bermula lebih awal. Pada 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden untuk membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945. Langkah ini membuka jalan bagi sistem Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan legislatif mulai dikendalikan secara langsung oleh presiden.

Sebagai pengganti DPR hasil Pemilu 1955, Soekarno membentuk lembaga baru: DPR-Gotong Royong (DPR-GR) yang anggotanya diangkat oleh presiden sendiri lewat Perpres Nomor 3 Tahun 1960, lalu resminya susunan DPR-GR ditetapkan lewat Perpres Nomor 4 Tahun 1960.

Gus Dur — Upaya Tapi Gagal Bubarkan DPR via Maklumat Presiden

Fast forward ke era reformasi, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) juga pernah mencoba mengimplementasikan langkah serupa. Ia mengeluarkan Maklumat Presiden pada 23 Juli 2001, yang berisi pembekuan DPR dan MPR, pembubaran Golkar, dan rencana penyelenggaraan pemilu dalam waktu setahun.

Namun, berbeda dari Soekarno yang berhasil, langkah ini langsung ditentang keras—khususnya oleh MPR dan Wakil Presiden Megawati. Bahkan sehari setelah maklumat itu keluar, MPR langsung menggelar sidang khusus dan memecat Gus Dur, serta mengangkat Megawati sebagai Presiden ke-5 RI.

Konstitusi vs Realpolitik — Apa Kata UUD 1945?

Menurut pasal 7C UUD 1945, Presiden tidak diberi wewenang membubarkan DPR, karena sistem presidensial di Indonesia menempatkan presiden dan DPR setara sebagai lembaga negara.

Namun dalam praktiknya, seperti yang terjadi di era Soekarno, pembubaran legislatif justru terjadi dengan dukungan militer dan situasi politik yang memungkinkan legitimasi semu. Dekrit tersebut juga sering dibarengi dengan klaim “menyelamatkan negara” dan “return to UUD 1945” untuk membungkus tindakan eksekutif yang kuat.

Dampak Pembubaran — Dari Demokrasi Liberal ke Demokrasi Terpimpin

1. Sentralisasi Kekuasaan

Dengan terbentuknya DPR-GR dan MPRS, kekuasaan legislatif berpindah ke tangan presiden secara langsung—mengurangi peran partai dan parlemen dalam pengambilan kebijakan.

2. Gelombang Reformasi

Kasus Gus Dur yang gagal membubarkan DPR menandai bagaimana mekanisme konstitusional tetap berfungsi: legislatif mampu mengekang eksekutif bila langkah terlalu berlebihan. Ini jadi bagian penting dari mekanisme check and balances pasca-Orde Baru.

3. Pelajaran Lembaga Negara

Indonesia belajar bahwa presiden tidak boleh sembarangan membubarkan DPR—bahkan kalau punya niat, sistem demokrasi hari ini menjaga keseimbangan agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Penutup — Refleksi Sejarah dan Relevansi Hari Ini

Presiden RI Pernah Bubarkan DPR—Tapi dengan Konteks Krisis Politik
Pembubaran DPR oleh Soekarno dan upaya serupa oleh Gus Dur bukan sekadar aksi sesat, melainkan respon ekstrem terhadap stagnasi politis. Namun, langkah ini tidak bisa diaplikasikan seenaknya di era modern karena risiko erosi demokrasi.

Saat Ini, Prinsip UUD 1945 dan Check & Balance Adalah Pelindung Demokrasi
Walau sejarah mencatat ini pernah terjadi, kini sistem ketatanegaraan kita dirancang agar presiden dan DPR saling kawal dan tidak mengambil langkah sepihak. Ini jadi pelajaran penting tentang pentingnya literasi politik dan kesadaran konstitusional.