Praktik Tantiem di BUMN: Siapa yang Dapat dan Berapa?

wartalokal.com – Sudah jadi rahasia umum—para bos BUMN menerima tantiem, alias bonus tahunan, sebagai bentuk penghargaan atas kinerja perusahaan. Contohnya saja pada bank-bank BUMN: di tahun buku 2021, BRI mencatat pemberian tantiem sebesar Rp475,5 miliar untuk direksi dan komisarisnya. Sebarannya: direksi Rp339,9 miliar, komisaris Rp135,6 miliar.

Bank Mandiri berada di posisi kedua dengan total tantiem sebesar Rp424,19 miliar, terbagi Rp313,3 miliar untuk direksi dan Rp110,8 miliar bagi komisaris. Sementara itu, BNI memberikan tantiem total Rp134,6 miliar (direksi Rp85,4 miliar, komisaris Rp49,16 miliar).

Angka‑angka itu menunjukkan bahwa pemberian tantiem bukanlah nominal kecil. Bahkan, Presiden Prabowo menyoroti adanya komisaris yang menerima tantiem hingga Rp40 miliar per tahun, meski rapat hanya sebulan sekali.

Mengapa Tantiem Dikritik dan Kini Dihapus?

Masalah muncul karena banyak pihak menilai penerimaan tantiem tidak proporsional dengan kontribusi nyata, bahkan berpotensi memberi insentif di tengah kondisi perusahaan yang sedang rugi. Presiden Prabowo dengan tegas menyampaikan bahwa tantiem sering kali tidak berdasar—bahkan ia menyebut istilah “tantiem” sendiri sebagai “akal-akalan”.

Sejak 1 Agustus 2025, Danantara (Badan Pengelola Investasi Nusantara) merilis surat edaran (No. S‑063/DI‑BP/VII/2025) yang melarang pemberian tantiem bagi komisaris BUMN dan anak usahanya. Insentif untuk direksi pun kini harus sepenuhnya berbasis pada kinerja operasional riil dan laporan keuangan yang valid, bukan angka hasil manipulasi.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi menegaskan keputusan ini merupakan langkah serius memperbaiki SDM, manajemen, dan keuangan BUMN—supaya komisaris fokus pada fungsi pengawasan bukan cari bonus materi.

Dampak dan Penghematan Anggaran Negara

Langkah penghapusan tantiem ini bukan sekadar simbolis—dengan kajian konservatif dari Danantara, diperkirakan anggaran negara bisa dihemat hingga Rp8 triliun per tahun.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, menambahkan angka penghematan lebih besar lagi: mencapai Rp17–18 triliun setahun jika semua tantiem dan insentif dihapus.

Presiden Prabowo pun mencantumkan alasan lain: aset BUMN Indonesia mencapai lebih dari USD 1.000 triliun dan idealnya bisa menyumbang USD 50 miliar—kalau tantiem berlebihan bisa menggerus potensi kontribusi tersebut.

Skema Remunerasi Baru: Transparan dan Berbasis Kinerja

Dalam pengganti tantiem, Danantara menerapkan struktur remunerasi baru yang mengikuti praktik good corporate governance. Beberapa ketentuannya:

  • Komisaris tidak mendapatkan tantiem—tetap menerima gaji tetap sesuai tanggung jawab dan kontribusi.

  • Direksi baru boleh menerima insentif bila memenuhi indikator ketat:

    • Opini audit ≥ Wajar Dengan Pengecualian (WDP)

    • Skor kesehatan minimal 70

    • KPI tercapai minimal 80%

    • Perusahaan tidak merugi, bukan hasil windfall.

Besaran gaji kini pun punya acuan internal:

  • Wakil Direktur Utama: 95% dari Dirut

  • Anggota Direksi: 85% dari Dirut

  • Komisaris Utama: 45%

  • Wakil Komisaris Utama: 42,5%

  • Anggota Komisaris: 90% dari Komisaris Utama.

Danantara juga membuka opsi insentif jangka panjang, seperti saham bonus atau tabungan yang ditahan hingga akhir masa jabatan, mengikuti standar global (LTI) dan direkomendasikan konsultan independen.

Reaksi Publik dan Roll-Out Implementasi Skema Baru

Publik banyak menyambut baik langkah ini. Banyak yang menyoroti bahwa penghapusan tantiem menunjukkan keseriusan pemerintah menata ulang BUMN—supaya efisiensi anggaran dan tata kelola jadi prioritas.

Pemerintah mengizinkan komisaris yang tidak setuju dengan aturan ini untuk mengundurkan diri, membuka kesempatan bagi generasi muda yang lebih kompeten untuk menggantikan posisi tersebut.

Penerapan kebijakan ini berlaku untuk tahun buku 2025, dan sudah disosialisasikan lewat surat edaran Danantara kepada seluruh BUMN dan anak usahanya.

Refleksi & Harapan ke Depan

Kebijakan penghapusan tantiem dan reformasi remunerasi ini adalah bentuk nyata komitmen negara terhadap akuntabilitas dan efisiensi. Kini fokus bukan pada bonus, tapi prestasi kinerja riil.

Ke depan, semoga pengelolaan BUMN makin transparan, insentif selaras dengan hasil operasi, dan BUMN benar-benar jadi tulang punggung ekonomi negara. Kalau semua dijalankan konsisten, ini bisa jadi percontohan reformasi birokrasi dan tata kelola publik.

Penutup Ringkas

Kasus Bos BUMN penerima tantiem dulu sempat kontroversial—nominal fantastis tapi sempat tidak sebanding dengan kontribusi. Kini, dengan reformasi remunerasi berbasis kinerja, diharapkan BUMN bisa lebih efisien, transparan, dan bermanfaat bagi rakyat banyak.