Kronologi & Fakta Lapangan

wartalokal.com – Awalnya video TikTok dari akun @ramasahid — milik Rama Sahid — mendadak viral. Dia memperlihatkan detik-detik ketegangan saat check-in di Hotel Indonesia Syariah Pekalongan, lalu dikeluarkan padahal sudah membayar melalui aplikasi dengan harga promo. Polisi tujuannya? Selisih tarif sekitar Rp10 ribu yang dianggap tidak fair karena tidak tertera di aplikasi.

Kronologinya: Dilansir detikJateng, kejadian terjadi pada Rabu malam, 13 Agustus 2025. Pemesanan via aplikasi – sebut saja “Travelka” – menunjukkan tarif sekitar Rp130 ribu. Padahal, kebijakan hotel menyatakan tarif minimal Rp150 ribu. Selisih Rp10‑20 ribu itu lantas diminta saat check-in. Menolak bayar, Rama akhirnya diusir dengan cara ketok pintu kamar oleh petugas ⏤ suasananya jadi makin panas.

Lalu bagaimana respons pihak hotel? Mereka menyatakan meminta selisih itu sebagai kebijakan internal, bukan aturan aplikasi. Mereka menyarankan Rama klarifikasi ke pihak aplikasi untuk refund, tapi tamu menolak. Sebagai akibatnya, kontak administrasi belum resmi—meski kunci sempat diberikan karena situasi yang “tegang” di front office.

Klarifikasi & Polemik Layanan Syariah

Hotel kemudian merilis klarifikasi, bahkan melalui unggahan media sosial—termasuk TikTok dan Instagram. Mereka mengklaim permintaan itu adalah “biaya administrasi aplikasi” atau selisih sistem, standard untuk tiap pemesanan via online platform.

Namun ini jadi masalah serius. Banyak netizen menyoroti bahwa label “syariah” seharusnya menjunjung kejujuran, transparansi, bahkan keadilan. Tapi meminta biaya tambahan tanpa informasi itu terasa seperti melanggar prinsip syariah itu sendiri — bahkan muncul komentar satir “pakai nama syariah tapi praktik riba”.

Reaksi Publik dan Dampak Digital

Reaksi publik? Gila-matian. Review Google Maps hotel langsung merosot dari rating 3.8 ke 3.7. Bahkan warganet kreatif mengubah nama hotel menjadi “Hotel Ghoib Indonesia Pekalongan” sebagai ekspresi kegeraman mereka.

Di media sosial, banyak komentar pedas menyuarakan ketidakpuasan. Ada yang menandai aplikasi dan Komnas Konsumen agar tindakan seperti ini tidak terjadi lagi. Bahkan PHRI (Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia) cabang Pekalongan sampai turun tangan, meminta semua pihak duduk bersama untuk mediasi — baik tamu maupun hotel.

Pelajaran Pelayanan & Rekomendasi Konsumen

Kasus ini menawarkan pelajaran penting untuk industri perhotelan dan konsumen:

  1. Transparansi harga itu wajib, terutama bila menggunakan label khusus (syariah, eco‑friendly, dsb.).

  2. Pengguna aplikasi mesti teliti, simpan bukti booking, capture halaman harga, dan mutlak meminta klarifikasi bila terdapat biaya tambahan yang tidak tertera.

  3. Aplikasi pemesanan perlu memperkuat prosedur verifikasi harga antara mitra hotel dan sistem mereka, guna melindungi konsumen.

  4. Asosiasi industri semisal PHRI jadi penting sebagai mediator bila terjadi sengketa harga seperti ini.

Penutup: Refleksi & Harapan Ke Depan

Viralnya kasus “tamu diusir Hotel Indonesia Pekalongan” mengingatkan kita bahwa sekedar branding syariah tidak cukup—transparansi dan perlindungan konsumen adalah aksi nyata pelayanan. Publik hadir bukan hanya untuk pasrah bayar tarif promo, tapi berharap hak-haknya dijaga.

Idealnya, para pelaku pun terbuka untuk perbaikan. Dalam responnya, hotel menyatakan siap bertemu Rama Sahid untuk menyelesaikan perkara secara baik-baik. Semoga proses ini jadi momentum introspeksi hukum dan operasional: agar ke depannya, tamu bisa merasa nyaman, harga jelas, dan reputasi syariah kembali terjaga.

Ringkas: Inti dari Kasus Ini

Kasus viral ini bukan cuma soal Rp10 ribu—tapi soal kepercayaan, transparansi, dan pelayanan adil. Semoga jadi alarm positif: industri perhotelan perlu perbaiki sistem, aplikasi perlu jaga integritas, dan konsumen jangan takut menyuarakan haknya.